Gereja Puh Sarang,
Menafsir Arsitektur Jawa
Gereja
Katolik di Puh Sarang didirikan oleh Ir. Henricus Maclaine Pont (tahun
1936-1937), ia juga menangani
pembangunan Museum di Trowulan, Mojokerto, yang menyimpan peninggalan
sejarah Kerajaan Majapahit. Bangunan gereja Puh Sarang mirip dengan
bangunan museum Trowulan, maka dengan melihat gereja sekarang kita
bisa membayangkan bagaimanakah bentuk museum Trowulan dulu kala.
TERDENGAR
kabar bahwa gereja kecil di Puh Sarang, sekitar 10 km sebelah barat
Kediri selesai direnovasi. Berita seperti ini sebenarya biasa saja,
karena gereja kuno di kaki Pegunungan Wilis itu sudah beberapa kali
direnovasi. Kini, batang-batang kayu rangka utama atap telah diganti
batang-batang baja agar bentuk "aslinya" tetap terjaga.
BARANG KALI dipertahankannya bentuk seperti "aslinya" ini
berhubungan dengan kebutuhan untuk mempertahankan citra positif inkulturasi
Gereja Katolik Roma pada kultur lokal Jawa.
Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari gereja kuno yang dibangun
pada masa kolonial di tanah Jawa ini ?
MENAFSIR
ARSITEKTUR LAMA
Gereja kecil di Puh Sarang agaknya adalah karya terakhir arsitek "hibrid
" kelahiran Jatinegara : Henri Maclaine Pont (1884 - 1971), sebelum
is meninggalkan Jawa pada masa sekitar Perang Dunia II. Karya ini
unik karena tinggal satu-satunya artefak yang merupakan eksperimen
arsitek dalam menafsirkan atap arsitektur Jawa sebagai sebuah tenda.
Salah satu sumbangan Pont adalah usahanya mengembangkan struktur tenda
yang secara luas digunakan masyarakat primitif serta penggunaan bambu
yang menjadi bagian utama struktur. Pada penafsiran Maclaine Pont
yang tidak biasa inilah sebenarnya keunikan yang paling tampak ketika
orang memasuki gereja kecil ini. Bagi orang biasa hal itu mungkin
dianggap terlalu biasa. Keluarbiasaan hasil eksperimen sang arsitek
tadi tersembunyi bagi mata mereka, yang secara tidak langsung membenarkan
adagium "mata hanya akan melihat pada apa yang telah menjadi
minat."
Arsitek
modernis Le Courbusier pernah menasehati "punyailah mata yang
mampu melihat" bila ingin belajar arsitektur. Arsitektur memang
besangkut-paut dengan hal yang dapat dilihat, obyek yang ditonton,
sehingga tidak heran suatu bangunan sering diperlakukan sebagai sejenis
seni rupa.
Sepanjang sejarahnya, orang mengkaji bangunan dengan kaidah seni rupa:
proporsi, komposisi, skala, warna, cahaya, simbolisasi langgam, dan
sebagainya. Pada hal-hal yang ditemukan setelah kegiatan membangun
itu selesai dan bukan pada proses ketika satu unsur bangunan dihubungkan
dengan unsur lain, ketika bahan satu dirangkai dengan bahan lain.
Hal-hal terakhir ini hanya sering diserahkan pada tangan tukang. Arsitek
"tukang yang utama" itu seharusnya adalah orang yang tahu
tentang prosedur menangani bahan dan tahu tentang kualitas estetis
dari hasil akhirnya. la dalam berkarya karenanya dituntut melibatkan
tangan,kaki dan seluruh anggota tubuh di samping mata, akal budi dan
cita rasanya. Bangunan bukanlah karya seni visual yang hanya sedap
dipandang mata saja.
KETUKANGAN
MACLAINE PONT
Eksperimen Pont di Puh Sarang juga memperlihatkan kegairahan dalam
memerankan diri sebagai manusia pembangun. Dapat kita rasakan lagi
hal itu lewat sketsa dan foto yang disajikan dalam buku Ben F. van
Leerdam, Ben speurtocht naar bet wezenllijke van de javaanse Architectuz
yang menampilkan Pont sebagai orang penuh semangat melacak arsitektur
Jawa sejati. Padanya kita bisa lihat lagi motif yang menggerakkan
tangan manusia pembangun mula-mula di zaman purba.
Puh
Sarang adalah eskperimen lanjutan dari eksperimen serupa hetika membangun
Museum Arkeologi di Trowulan yang roboh dilanda angin pada tahun 1960-an.
Analisisnya pada beberapa citra rumah Jawa, baik yang dilihatnya tertera
pada relief candi, di rumah desa Pegunungan Dieng, Garut, Kuningan,
Cirebon, Semarang, Cepu, Banyumas, Pasuruan, hingga pendopo istana
Surakarta dan Yogyakarta menghantarkannya pada kesimpulan semuanya
bermula dari struktur temporer bernama tenda.
Penelitan lapangannya dengan rumah rakyat di pedesaan Jawa, ketika
bekerja pada Dinas Kesehatan Masyarakat membuatnya tertarik pada bahan
bambu dan kemudian is melibatkan ke dalarn polemik melawari peraturan-peraturan
pemerintah yang melarang penggunaan bambu sebagai bahan bangunan karena
diduga menjadi perantara terjangkitnya wabah pes. Bukan bambunva yang
harus dilarang dipakai, tetapi perbaikan pada teknik mempergunakannya
yang harus diusahakannya.
Kegairahannya dalam menjelajahi kemungkinan yang dapat disediakan
kayu, batu, bata, dan bambu dan sungguh inspiratif. Pada karya-karyanya
tampaklah bahwa baginya arsitektur bukan patung yang dihuni atau sebuah
lukisan yang dipasang pada cakrawala pandangan, tetapi sungguh bangunan
suatu gubahan yang tesusun dari bahan-bahannya agar manusia senang
dan kerasan tinggal di dalarnnya.
Arsitektur adalah perkara bangun-membangun, perkara merangkai dan
menegakkan bahan satu dengan yang lain untuk melawan gravitasi yang
cenderung menarik rebah ke tanah. Maka dari itu, pada segi tektonika
itulah is mencari dan mengalaskan percobannya. Pada aktivitas coba-cobanya
ini dapat dilihat bagaimana kerja sama antara tangan yang memegang
bahan dengan imajinasi (analisis dan sintesis) manusiawi dalam melahirkan
temuan baru (discoveries).
LOKALITAS
Gereja ini diinginkan untuk dibangun dengan suasana Jawa. Bukit itu
dirupakannya sebagai susunan teras halaman yang ditegaskan oleh pagar
dan gerbang batu yang puncaknya dimahkotai bangunan kayu ringan, temporer
dan seolah mengapung seperti tenda yang ditambatkan di antara bumi
dan langit.
Bangunan di depannya adalah bangunan teras beratap menjulang runcing
di ujung ujungnya mirip bentuk perahu, demikian pula beberapa massa
bangunan lain di sekitar halaman menggunakan atap jenis ini. Batu-batu
bulat, pasir, dan kerikil diambil dari kali setempat, demikian pula
bata didapatkan dari pembakaran terdekat, sedangkan kayu jati dan
seluruh bahan besi (anker baut, kabel, pelat dan sebagainya) harus
didatangkan dari Kediri.
Bebatuan
bulat yang disusun betonjolan menjadi pagar, gerbang, dan menara lonceng
masih dipertahankan kodratnya sebagai batu teronggok. Demikian pula
ekspresi tekstural di dalam yang timbul dari bahan dibiarkan alamiah,
diguyur oleh sinar alami dari puncak atap, dengan kuat memperlihatkan
bangunan ini betul-betul sebagai seni bangun-membangun.
Dengan ini, maka bangunan beratap Jawa "temuan kembali"
Pont tadi tertambat erat di tempatnya seolah-olah pernah kita kenal
sebelumnya, tetapi serentak baru, walau sama sekali tidak menjiplak
bentuk atap rumah Jawa. Lokalitas dengan demikian digaris bawahi.
Kekuatan eskpresi tektoniknya ini cocok dengan diterapkan pada arsitektur
Gereja Katolik berhubung dengan ritus yang berlangsung di dalamnya
memang mengharuskan tubuh umat bersentuhan dengan berbagai kualitas
tekstural bahan : tangan yang menyentuh air ketika memasuki bangunan
yang harus bersalaman dengan tangan saudara seiman di kiri-kanan,
hidung yang mengendus bau dupa yang mengiringkan doa, cahaya yang
menyarankan mata untuk mengarah pada tabernakel (Latin: tabernaculum
= tenda), meja altar dan simbol sakral, lidah yang harus mencecap
roti "tak berasa" di puncak acara, telinga yang harus mendengar
gumam rumusan doa.
Keseluruhan ini membangun suasana bulat, saling berkaitan. Ritus yang
berlangsung di bangunan itu memang telah mengajak air, bata, bau,
kayu, kaca untuk terlibat ke dalam perjumpaan manusia dengan "Yang
Ilahi"
Ketertambatan
pada tempatnya seraya melakukan pembalaan ulang ke dalamnya mengingatkan
kita pada masalah tegangan antara lokal dan global. Berabad-abad lamanya
hubungan antara peradaban lokal (Jawa) dengan peradaban di luarnya
telah berlangsung tanpa menimbulkan kekhawatiran seperti sekarang.
Gairah Pont menyingkap arsitektur Jawa tidak berarti hendak menemukan
kejawaan yang terlepas dari yang non-Jawa. Penjelajahannya membawa
kesimpulan, kejawaan itu berada bersama dengan tradisi besar kebudayaan
lain. Bangunan di atas bukit ini sudah menjadi tempat berjumpanya
langit-bumi, manusia - Tuhan, lama-bau, Kristen-Kejawen, Roma-Puh
Sarang, Jawa-Belanda, terjajah-penjajah, kasar-harus, awam-klerus,
luar-dalam.
BELAJAR DARTI MASA LALU
Karya Maclaine Pont sudah selesai pada zamannya. Tidaklah terlalu
bermanfaat meniru niru bentuk atap atau pernak-pernik pagar dan ukiran
yang pernah ia buat. Lebih bermanfaat bagi kita di masa kini untuk
mengambil pelajaran dari kasusnya.
Pelajaran
pertama yang dapat ditarik dari karya terakhir Maclaine
Pont di Jawa itu adalah dengan menekankan segi bangun-membangun dari
apa yang disebut arsitektur itu membawa kita untuk menatap langsung
aktifitas yang memang menjadi kesibukan utama seorang arsitektur :
membangun.
Kedua, bila arsitektur disebut sebagai seni membangun
maka hal itu adalah tindakan menghadirkan, membikin tampak fitrah
manusia berikut tangis dan tawanya, sesal dan harapannya, maupun fitrah
alam dan benda-benda. Tindakan seperti itu memungkinkan penyatuan
kembali, pengumpulan kembali benda-benda dengan eksistensi. Dalam
paparan mengenai ritus yang berlangsung di dalam gereja di atas jelaslah
bahwa benda-benda yang "tersentuh" tubuh dan yang ditampakkan
sebagaimana kodratnya dapat dilibatkan ke dalam dunia batin manusia.
Yang rohani dan ragawi saling meresapi.
Ketiga,
kesibukan Maclaine Pont dalam bereskperimen dengan model untuk menguji
hipotesisnya tentang atap rumah Jawa memperlihatkan kedaulatan (otoritas)
profesional dia sebagai arsitek yang bertanggung jawab untuk memberi
bentuk. Kedaulatan seperti ini tampak romantik pada masa sekarang
karena modus produksi arsitek sekarang sudah menjadi bagian dari mesin
produksi yang anonim, menjauhkan dari alam yang langsung dapat disentuh.
Keempat, ketertambatan pada tempat yang konkrit menjadi
menarik diangkat pada masa kini berhubung dengan isu globalisasi.
Amat kecil peluang arsitek Indonesia memenangkan persaingan dengan
arsitek dan korporasi kapitalis global bila kita tidak tertambat pada
tempat sendiri Memandang arsitektur dari segi bangun-membangunnya
memiliki harapan untuk itu karena memberi tempat pada sejarah dan
lokalitas: tidak mengulang bentuk dan langgam yang reproduktif, namun
kembali pada tradisi bangun membangun yang bertolak dari perlakuan
terhadap bahan yang digunakan.
(Mahatmanto, pengajar sejarah arsitektur di Universitas Kristen
Duta Wacana, Yogyakarta),