FOSIL CULA BUDAK (Rhinoceros), ditemukan di Kec. Jenu, Tuban. Secara fisik tetap berbentuk cula badak, akan tetapi karena proses alam terjadi perubahan kimiawi, terjadi proses silifikasi (replacement) yang semula zat tanduk berubah menjadi SiO2 (Silikon dioksida) sehingga membatu. Badak ini hidup sekitar 300.000 tahun yang lalu.
Lingga merupakan stilasi bentuk phalus ( alat genetalia laki-laki ) sebagai simbol Dewa Siwa dan Yoni stilasi dari bentuk vulva ( alat genelalia perempuan ) sebagai simbol Dewi Parwati, berfungsi sebagai media pemujaan. Penganut Hindu meyakini adanya tiga macam cahaya di dunia yaitu matahari, kilat dan api. Ketiga unsur inilah yang kemudian dijadikan dasar pembuatan lingga yang terdiri dari 3 bagian: Rudrabhaga/Siwabhaga, Wisnubhaga dan Brahmabaga. Lingga dengan aspek utama melambangkan laki-laki (purusa), api, langit dan yoni dengan aspek wanita (prakiti, pradana), bumi, tanah, sebagaimana perkawinan laki-laki dan wanita akan menimbulkan pembuahan, kesuburan (fertility) dan melahirkan kehidupan baru, inilah makna penyatuan lingga dan yoni.
JANGKAR berlengan empat setinggi 182 cm dengan cincin kemudi lengkap dengan rantainya, ditemukan di Kec. Bancar Tuban. Merupakan jangkar kapal bala tentara Mongol yang di kirim ke Jawa oleh Khubilai Khan untuk menyerang Kertanegara (Kerajaan Singasari) pada tahun 1293. Khubilai Khan selain sebagai Kaisar Mongol (1260-1294) juga sekaligus pendiri Dinasti Yuan (1279 – 1294) di Cina.
KALPATARU terbuat dari kayu jati (Tectona grandis) berfungsi sebagai tiang penyangga “pendopo rante” yang berada dalam kompleks makam Sunan Bonang. Kayu bercabang empat di ukir dengan berbagai motif tumbuhan (floral design), fauna, serta bangunan suci dari empat agama; Islam, Hindu, Budha dan Tri Dharma atau San Kau (Konghucu/Konfusius, Tao dan Budha). Bangunan suci dari empat agama yang diukir pada satu tempat mempunyai makna filosofis sebuah harapan yakni merajut harmoni, membangun kerukunan dan persatuan umat beragama, yang tertuang dalam pohon harapan (wishing tree) atau Kalpataru. Semua dengan satu tujuan, pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang disimbolkan dengan satu tiang yang tegak keatas.
AL-QUR’AN yang ditulis tangan diatas daluang, berasal dari Ds. Prunggahan Kulon, Kec. Semanding, Tuban. Isi dari Al-Qur’an ini sudah tidak lengkap, dimulai dari Surat Ali Imran (surat ke-3) dan terakhir Surat Al-Waqi’ah (surat ke-56). Media menulis yang terdiri dua macam, yakni daluang umumnya produksi lokal, dan kertas yang merupakan bahan impor. Al-Qur’an atau naskah-naskah keagamaan lain yang ditulis dalam daluang pada umumnya berjumlah sangat kecil jika dibanding dengan yang ditulis di atas kertas. Bahan kertas itu sendiri umumnya baru dipakai di Nusantara sekitar awal abad ke-17, atau paling tua pertengahan dan akhir abad ke-16. Pada masa sebelumnya, bahan produksi local seperti daluang dan lontar merupakan bahan utama yang dijadikan media penulisan naskah.
KERIS PB X berasal dari Rumah Dinas Wakil Bupati Tuban, berahan besi, dengan panjang bilah 35 cm. Keris dengan dapur “luk 13”, pamor “tambal” dan tangguh “Surakarta”, memiliki warangka / sarung keris ladrang atau ladrangan (menurut wanda Surakarta). Pada pendok sisi belakang terdapat simbol Kraton Solo (Radya Laksana) dan tertulis PB X dibawahnya. PB X / Paku Buwana ke-10 berkuasa pada tahun 1893 -1939.
ONGKEK merupakan alat atau wadah untuk menjual legen, minuman tradisional dari Tuban. Legen diperoleh dari sadapan bunga yang berbentuk sulur dari pohon Siwalan (Borassus flabelifer) atau yang dikenal juga dengan pohon Ental / Lontar. Sampai sekitar tahun 1970 masih banyak dijumpai di jalan-jalan atau di dalam perkampungan di Tuban dan sekitarnya penjual legen keliling yang menggunakan ongkek ini, namun seiring berjalanya waktu lambat laun peralatan ini sudah tidak pernah dijumpai lagi dan akhirnya menjadi barang langka.
BATIK GEDOG TUBAN, yang dikenal dengan proses pembuatan kainnya dengan “tenun gedog“, menyimpan kekayaan berbagai motif tradisional yang pakem, diantaranya: Panji Konang, Ganggeng, Kijing Miring, Owal Awil, Galaran, Srigunting , Likasan kothong, Kembang Kluwih dan Lok Can.
FUMIGASI, merupakan alat konservasi, suatu usaha mencegah, mengobati dan mensterilkan koleksi museum terutama dari bahan lontar, daluang, kertas, kulit, kain, bambu atau kayu dari gangguan serangga (insek) seperti silverfish, kutu buku, rayap, cacing buku, ngengat dan sejenisnya serta dapat mematikan jamur (fungi). Fumigasi dilakukan dengan memasukkan bahan fumigan yaitu merupakan bahan kimia Carbon disulfide (CS2) dan Dichlormethane (CH2Cl2), yang pada temperature tertentu akan berubah menjadi gas yang dapat mematikan serangga dan jamur.